Minggu, 24 Januari 2016

(Calon) Mahasiswa Robot

Ini bukan tulisan saya. Juga bukan pengalaman saya. Namun tulisan ini dari pengalaman si penulis yang tercantum namanya di bawah tuliasan. Bagus dan menarik buat kamu-kamu yang mau lanjut dari SMA/MA/SMK se derajat yang mau kuliah. Atau buat kamu yang udah kuliah tapi masih bingung dengan status kemahasiswaanmu. Jadi tulisan ini cocok buat ngisi #CatatanSeorangHabib. Selamat membaca

=================================

Beberapa waktu yang lalu, saya datang ke SMA saya dulu untuk sosialisasi kampus ke anak-anak kelas XII. Mengingat saat itu sudah mendekati waktunya SNMPTN, para siswa jelas perlu referensi tentang universitas secara langsung dari mahasiswanya. Selsaya alumni, saya jelas ingin membantu menyosialisasikan kampus tempat saya menuntut ilmu pada mereka.

Sampai, di salah satu kelas, muncullah pertanyaan paling mainstream yang biasa hinggap di benak para siswa kala menentukan jurusan kuliah, yang ditujukan pada saya: Prospek kerja Teknik Nuklir apa?

Saya sudah menduga pertanyaan seperti ini pasti akan muncul. Maka, sebelum saya jawab pertanyaannya, saya balik bertanya dulu ke para siswa: Tujuan kalian kuliah itu untuk apa? Mencari kerja? Atau menimba ilmu untuk diaplikasikan?

Lalu, saya membuat skema di whiteboard, yang menggambarkan pilihan para siswa ketika kuliah nanti. Yang pertama soal kuliah untuk mencari kerja. Secara singkat, saya langsung menggambarkan yang seperti itu akan dibentuk sebagai robot pelayan kapitalis. Kuliah dengan gencar, mengejar IP Cum Laude, lulus cepat, kerja di perusahaan bonafid, dapat gaji besar, hidup enak. Selesai. Hidupnya cuma seperti itu. Sederhana, dan menyedihkan. Saya menjelaskan lagi, bahwa yang begini cuma mikir mau enaknya saja, egois. Yang penting gue punya kerjaan enak, gaji gede! Masa bodoh kalo perusahaan tempat gue kerja itu perusahaan asing yang udah puluhan tahun mengeruk kekayaan alam negeri ini! Misalnya C*h*e*v*r*o*n (sensor).

Mahasiswa yang begini, waktu itu saya jelaskan, yang jadi kepanjangan tangan para kapitalis untuk makin leluasa merampok SDA Indonesia dan robot pelayan setia mereka, yang rela melakukan apapun untuk menyenangkan bosnya. Dan mereka jadi salah satu faktor juga, kenapa dunia riset dan perkembangan saintek Indonesia tidak maju-maju. Lah wong mikirnya kerja tok. Ilmu yang didapatkan pas kuliah? Masa bodoh!

Barangkali ini juga alasan kenapa banyak yang setelah lulus kuliah, lantas kerja di tempat yang tidak sesuai bidangnya. Engineer kerja di bank? Itu engineer sial. Hahaha.

Beda lagi waktu saya menggambarkan skema tentang mahasiswa yang mencari ilmu untuk kemudian diaplikasikan. Yang begini kugambarkan akan menunjang budaya riset dan pemberdayaan. Lalu, dengan didukung birokrasi yang sehat (yang sayangnya, hal ini masih cuma mimpi di Indonesia), maka akan terbentuk perkembangan saintek yang pesat, ditambah abundance of knowledge (keberlimpahan ilmu) akan semakin kaya. Kalau hal ini didukung faktor-faktor lain yang berkaitan, misalnya ideologi, ekonomi, politik, kebijakan luar negeri, dan sebagainya, maka hal ini akan berujung pada kesejahteraan. Nah, bukannya ini yang selama ini diharapkan?

Sekalian saya ingatkan sedikit soal pesan Rasulullah SAW, bahwa “Sebaik-baik manusia adalah yang bermanfaat bagi manusia yang lainnya.”. Dengan kata lain, ilmu yang didapatkan waktu kuliah jangan cuma dimakan buat sendiri. TIdak ada gunanya. Kalau diaplikasikan untuk kepentingan orang banyak, itu jauh lebih bermanfaat. Saya pernah menemukan kalimat ini, meski lupa siapa yang mengatakan: Harta itu akan habis ketika digunakan, tapi ilmu itu akan habis jika ditahan.

Dengan agak keras, saya ingatkan juga bahwa kuliah jangan hanya dihabiskan untuk mencari kerja saja. Sia-sia waktu 4 tahun (bisa lebih, bisa kurang) dihabiskan hanya untuk hal seperti itu. Uang mungkin bisa kembali, tapi tidak dengan waktu dan pengalaman yang mungkin didapat di dunia perkuliahan.

Pada intinya, opini di kalangan siswa saya arahkan supaya jangan memperrumit persoalan negeri ini dengan kuliah hanya untuk mencari kerja. Dengan kata lain, saya arahkan supaya mereka meluruskan niat, kuliah itu demi menuntut ilmu dan kemudian diamalkan. Baru setelah itu, saya jawab singkat soal kemana Teknik Nuklir bisa mengaplikasikan ilmunya, sambil mengaitkan dengan penjelasan tadi.
***

Memang, saya khawatir ketika melihat fenomena ‘prospek kerja’ ini. Kuliah dinilai dari prospek kerja, seolah prospek kerja itu adalah dewa yang harus diagung-agungkan. Yang prospek kerjanya dianggap bagus, misalnya Kedokteran atau Akuntansi, banyak diserbu. Sebaliknya, yang prospek kerjanya dianggap minim, misalnya Sastra Jawa atau Filsafat, yang minat paling berapa orang? Dan itu tipikal, terjadi terjadi setiap tahun. Tidak terkecuali, para siswa yang (barangkali) agak sadar diri dengan kemampuannya yang tidak begitu bagus, lalu bertanya di sebuah grup facebook, soal “Jurusan apa yang peminatnya sedikit tapi prospek kerjanya luas?”

(yang begitu saya jawab saja There’s no such thing as ideal in this world. Tidak ada yang ideal di dunia ini)

Apalagi menjelang pendaftaran calon mahasiswa baru. Ratusan ribu siswa SMA dari seluruh negeri berebut ingin menduduki ‘kursi panas’ perkuliahan di PTN-PTN ternama. Dan mulailah, mereka bergerilya mencari jurusan yang akan mereka masuki, sebagian dengan masih sangat bingung dan minim visi. Sebagian ada yang memang udah lurus pemahamannya dengan mencari jurusan yang mereka minati ketimbang ‘prospektif’. Tapi, mayoritas masih lebih memikirkan soal prospek kerja. Masuk jurusan ini prospek kerja dimana? Kalau jurusan itu? Jurusan bla bla bla? Tipikal. Tidak sepenuhnya salah, memang, tapi ya jangan berlebihan juga obsesinya itu.

Sampai-sampai, lucu juga pas saya dengar pemaparan adik kelas, bahwa salah satu perwakilan kampus yang menyampaikan masalah prospek kerja dengan berapi-api, bahwa prospek kerjanya sangat luas, termasuk bisa kerja di bank sekalipun. Saya tidak tahu itu kampus apa, tapi yang jelas mentalitas para mahasiswanya menyedihkan.

Menurut Dr. Nopriadi, pendidikan sekarang memang men-tuning para siswa untuk menjadi job seeker. Pencari kerja. Beda dengan medio 90-an, yang mana mahasiswa masih memegang peran penting dalam dunia perpolitikan dan propaganda, meski saat itu Indonesia berada dibawah rezim diktator-opresif Soeharto. Kualitasnya juga, yang lulusan medio 90-an masih lebih bermutu ketimbang lulusan sekarang.

Para mahasiswa dan calon mahasiswa dibuai dengan yang namanya IPK tinggi. Lulus cepat. Kerja di perusahaan asing bergaji tinggi. Semua itu dianggap bergengsi. Keren. Pendidikan diatur sejak dini bahwa tujuan akhir dari pendidikan itu mencari kerja. Sekalipun banyak retorika-retorika soal tujuan pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa bla bla bla, tapi kenyataannya tidak demikian. Bahkan anak SMP pun bisa jadi mikir kalau kuliah itu buat mencari kerja. Nothing else.

Akibatnya, mahasiswa, kaum intelektual yang harusnya menjadi corong perubahan, penyeru revolusi, pengawas kinerja pemerintahan dengan idealisme tinggi, sukses dibungkam. Ilmu yang dituntutnya ketika kuliah, yang seharusnya bisa digunakan untuk kepentingan orang banyak, cuma berakhir sebagai deretan nilai di Ijazah, yang dipajang sampai berdebu di tembok ruang tamu. Mahasiswa jadi mati. Mereka bertransformasi jadi robot-robot yang akan melakukan apapun demi kepentingan para kapitalis asing. Kontribusi mereka terhadap umat jadi minim, kalau bukan tidak ada. Dan hal ini sudah dibentuk sejak lama, jauh sebelum para siswa ‘naik tingkat’ jadi mahasiswa.

Pendidikan negeri ini sudah sukses didoktrin oleh negara imperialis asing untuk menghasilkan tenaga kerja murah demi keberlangsungan perusahaan-perusahaan multinasional. Gaji yang diterima para sarjana tidak sebanding dengan keuntungan perusahaan-perusahaan itu atas eksploitasi asing terhadap negeri ini, baik terhadap SDM maupun SDA. Indonesia telah tunduk pada skema kaum imperialis dalam masalah pendidikan, setelah di sisi lain seperti ekonomi, politik, sosial budaya, kebijakan luar negeri, hukum, telah diinjak-injak terlebih dahulu. Negeri ini sudah dipermainkan, seperti wayang yang pasrah dikendalikan oleh dalang.

Dalam skala mikro, barangkali meluruskan persepsi para calon mahasiswa bisa dilsayakan, supaya merea kelak tidak terbentuk jadi robot-robot pelayan kapitalis. Tapi, dalam skala makro, apa itu cukup? Jelas tidak. Perlu perubahan mendasar dalam skema pendidikan, dengan pemikiran yang out of the box. Namun, hal itu tidak akan bisa dilakukan selama frame berpikirnya masih dalam bingkai berpikir kapitalisme. Artinya, perlu ada perubahan sudut pandang. Menjadi sudut pandang apa? Tentunya sudut pandang Islam.

Islam tentu punya mekanisme pendidikan sendiri, yang jelas keunggulannya. Secara umum, Islam mendidik siswa dan mahasiswa bukan hanya pandai dalam urusan saintek, tapi juga dalam aspek ruhiyah. Mereka dibentuk bukan hanya jadi ilmuwan, tapi juga jadi ‘alim ‘ulama. Mencari ilmu karena Allah, dan mengaplikasikannya demi mendapat keridhaan Allah. Mentalitas demikian dibentuk sejak kecil, didukung oleh sistem-sistem lain yang saling berkaitan, misalnya politik, ekonomi, dan sosial budaya. Dengan mekanisme-mekanisme yang saling berkaitan ini, siswa dan mahasiswa dibentuk bukan menjadi robot pelayan kapitalis, tapi menjadi manusia unggul dunia-akhirat yang berguna demi kepentingan orang banyak.

SIstem ini jelas tidak mungkin diaplikasikan saat ini, sebab sistem yang berasal dari bingkai berpikir beda jelas tidak mungkin masuk. Dengan kata lain, sistem yang ada saat ini perlu dirombak secara mendasar. Ideologi kapitalisme, yang sukses menjajah negeri ini pada bidang pendidikan, perlu disingkirkan dan diganti dengan ideologi yang tepat untuk sistem pendidikan Islam, yaitu ideologi Islam itu sendiri. Ideologi Islam yang menyeluruh dalam setiap aspek peradaban tidak akan membiarkan siswa dan mahasiswa memiliki mental untuk menjadi kepanjangan tangan perusahaan pengeruk SDA negeri ini untuk semakin menancapkan kukunya.

Revolusi Islam menjadi sebuah keniscayaan untuk tegaknya kembali sistem ini. Tentunya, hanya mahasiswa dan calon mahasiswa yang tidak bermental robot saja yang bisa menyerukan revolusi ini. Nah, dimana posisi kita?

=================================
(Andhika Dwijayanto; Penulis Gaulfresh, Novelis “The Story of Renza”)

0 komentar:

Posting Komentar

Diberdayakan oleh Blogger.